ALASAN DIPERLUKANNYA PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU,
SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIS TENTANG PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI
PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
A. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar
Nilai Pengembangan Ilmu
beberapa alasan Pancasila diperlukan
sebagai dasar nilai pengembangan iptek dalam kehidupan bangsa Indonesia
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan oleh iptek, baik dengan dalih percepatan pembangunan daerah
tertinggal maupun upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu mendapat
perhatian yang serius. Penggalian tambang batubara, minyak, biji besi, emas,
dan lainnya di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan lain-lain dengan menggunakan
teknologi canggih mempercepat kerusakan lingkungan. Apabila hal ini dibiarkan
berlarut-larut, maka generasi yang akan datang, menerima resiko kehidupan yang
rawan bencana lantaran kerusakan lingkungan dapat memicu terjadinya bencana,
seperti longsor, banjir, pencemaran akibat limbah, dan seterusnya.
Kedua,
penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat
menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek yang
berpengaruh pada cara berpikir dan bertindak masyarakat yang cenderung
pragmatis. Artinya, penggunaan benda-benda teknologi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia dewasa ini telah menggantikan peran nilainilai luhur yang diyakini
dapat menciptakan kepribadian manusia Indonesia yang memiliki sifat sosial,
humanis, dan religius. Selain itu, sifat tersebut kini sudah mulai tergerus dan
digantikan sifat individualistis, dehumanis, pragmatis, bahkan cenderung
sekuler.
Ketiga,
nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi simbol kehidupan di berbagai daerah
mulai digantikan dengan gaya hidup global, seperti: budaya gotong royong
digantikan dengan individualis yang tidak patuh membayar pajak dan hanya
menjadi free rider di negara ini, sikap bersahaja digantikan dengan gaya hidup
bermewah-mewah, konsumerisme; solidaritas sosial digantikan dengan semangat
individualistis; musyawarah untuk mufakat digantikan dengan voting, dan
seterusnya
B. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis
tentang Pancasila sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu di Indonesia
1. Sumber Historis Pancasila sebagai
Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber historis Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam
dokumen negara, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 berbunyi:
”Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, … dan seterusnya”.
Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa”
mengacu pada pengembangan iptek melalui pendidikan. Amanat dalam Pembukaan UUD
1945 yang terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa itu haruslah berdasar
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya, yakni Pancasila.
Proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang terlepas dari nilai-nilai
sipiritualitas, kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, musyawarah, dan keadilan
merupakan pencederaan terhadap amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan dokumen sejarah bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar pengembangan
ilmu belum banyak dibicarakan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini
dapat dimaklumi, mengingat para pendiri negara yang juga termasuk cerdik
cendekia atau intelektual bangsa Indonesia pada masa itu mencurahkan tenaga dan
pemikirannya untuk membangun bangsa dan negara. Para intelektual merangkap
sebagai pejuang bangsa masih disibukkan pada upaya pembenahan dan penataan
negara yang baru saja terbebas dari penjajahan. Penjajahan tidak hanya menguras
sumber daya alam negara Indonesia, tetapi juga menjadikan bagian terbesar dari
rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan kebodohan. Segelintir rakyat
Indonesia yang mengenyam pendidikan di masa penjajahan itulah yang menjadi
pelopor bagi kebangkitan bangsa sehingga ketika negara Indonesia merdeka
diproklamirkan, mereka merasa perlu mencantumkan aspek kesejahteraan dan
pendidikan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
”..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melindungi
segenap tanah tumpah darah Indonesia”. Sila-sila Pancasila yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jelas merupakan bagian dari amanat para pendiri
negara untuk mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan dan memajukan
kesejahteraan bangsa dalam arti penguatan perekonomian bangsa dan pengembangan
ilmu pengetahuan yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia
agar setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
2. Sumber Sosiologis Pancasila
sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber sosiologis Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan iptek dapat ditemukan pada sikap masyarakat yang
sangat memperhatikan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan sehingga manakala iptek
tidak sejalan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, biasanya terjadi
penolakan. Contohnya, penolakan masyarakat atas rencana pembangunan pusat
pembangkit listrik tenaga nuklir di semenanjung Muria beberapa tahun yang lalu.
Penolakan masyarakat terhadap PLTN di semenanjung Muria didasarkan pada
kekhawatiran atas kemungkinan kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di
Chernobyl Rusia beberapa tahun yang lalu. Trauma nuklir berkaitan dengan
keselamatan reaktor nuklir dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk ke
dalam kategori limbah beracun. Kedua isu tersebut memicu dampak sosial sebagai
akibat pembangunan PLTN, bukan hanya bersifat standar seperti terciptanya
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, tiumbulnya gangguan kenyaman karena
kemacetan lalu lintas, bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang
bersifat khusus, seperti rasa cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak
mudah dikuantifikasi. Dalam terminologi dampak sosial, hal yang demikian itu
dinamakan perceived impact, dampak yang dipersepsikan (Sumber: Suara Merdeka, 8
Desember 2006). Hal ini membuktikan bahwa masyarakat peka terhadap isu-isu
ketuhanan dan kemanusiaan yang ada di balik pembangunan pusat tenaga nuklir
tersebut. Isu ketuhanan dikaitkan dengan dikesampingkannya martabat manusia
sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dalam pembangunan iptek. Artinya, pembangunan
fasilitas teknologi acapkali tidak melibatkan peran serta masyarakat sekitar,
padahal apabila terjadi dampak negatif berupa kerusakan fasilitas teknologi,
maka masyarakat yang akan terkena langsung akibatnya. Masyarakat sudah
menyadari perannya sebagai makhluk hidup yang dikaruniai akal dan pertimbangan
moral sehingga kepekaan nurani menjadi sarana untuk bersikap resisten terhadap
kemungkinan buruk yang terjadi di balik pengembangan iptek. Masyarakat terlebih
peka terhadap isu kemanusiaan di balik pembangunan dan pengembangan iptek
karena dampak negatif pengembangan iptek, seperti limbah industri yang merusak
lingkungan, secara langsung mengusik kenyamanan hidup masyarakat.
3. Sumber Politis Pancasila sebagai
Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber politis Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat dirunut ke dalam berbagai
kebijakan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Dokumen pada masa Orde
Lama yang meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi
ilmu, antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno ketika menerima gelar
Doctor Honoris Causa di UGM pada 19 September 1951, mengungkapkan hal sebagai
berikut:
“Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah
berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup
manusia, atau praktiknya bangsa, atau praktiknya hidup dunia kemanusiaan.
Memang sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktik hidup manusia, bangsa,
dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu
dengan amal, menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan sehingga pengetahuan
ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Ilmu dan amal
harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal.
Malahan, angkatlah derajat kemahasiswaanmu itu kepada derajat mahasiswa patriot
yang sekarang mencari ilmu, untuk kemudian beramal terus menerus di wajah ibu
pertiwi” (Ketut, 2011).
0 Komentar